Sabtu, 20 September 2025
Pemantik #1
Selamat pagi, Ayah Bunda.
Apa yang menjadi kegelisahan Ayah Bunda terkait pendidikan anak saat ini?
(Uraian berbentuk naratif dan terkait dengan putra/putri Ayah Bunda yang akan bersekolah di SD Tetum Bunaya).
Perjalanan Menulis Jurnal
Day(s)
:
Hour(s)
:
Minute(s)
:
Second(s)
Mendengarkan Kegelisahan
Sabtu siang itu, ada sebuah keluarga datang ke sekolah, sementara di sekolah hanya ada saya. Saya masih berada di sekolah untuk mengamati pemasangan pagar. Saya pun mempersilakan keluarga itu masuk ke dalam.
Saya siap mendengarkan kegelisahan ayah bunda yang membawa putra putri mereka ke Tetum. Mereka berniat akan mendaftarkan anak mereka yang kedua, seorang perempuan, bernama Dinda ke SD Tetum Bunaya. Si kakak sudah bersekolah di suatu SD swasta, kelas 2.
Dalam pandangan pertama, saya melihat Dinda anak yang tenang, dan dapat melakukan kontak mata, sampai kemudian ibunya mengatakan dia belum bisa bicara, dan sedang menjalani terapi wicara serta okupasi terapi. Saya pun terdorong untuk mengecek kemampuan bicaranya dengan menanyakan namanya. “Iya,” katanya pelan. Dinda mempunyai kemampuan mendengar yang cukup. Dia bisa langsung menjawab, dengan suara pelan. Bisa jadi suara pelan itu karena saya orang baru.
Ibu Dinda mengatakan mereka datang ke Tetum atas saran terapis. Dia belum pernah bersekolah sekalipun sudah berumur 6 tahun lebih. Ibunya menjelaskan bahwa saat Dinda berumur tiga tahun, dia mengalami kejang. Dari pemeriksaan dokter, Dinda dirujuk ke dokter saraf. Dokter mengatakan Dinda mempunyai epilepsi ringan yang berpengaruh pada kemampuan bicaranya. Untuk menjaga tidak ada serangan epilepsi, dokter mengatakan agar kondisi fisik Dinda dijaga dari kelelahan. Karena itu Dinda disarankan tidak bersekolah. Kebetulan waktu itu ada pandemi, sehingga DInda—seperti juga banyak anak—lebih aman berada di rumah. Setelah pandemi usai, Dinda menjalani terapi wicara dan terapi okupasi di suatu klinik.
Ya, pandemi memang merenggut kesempatan anak untuk menjadi lebih baik. Orang tua Dinda seperti mengejar apa yang bisa mereka lakukan untuk anak mereka.
Siang itu saya berperan sebagai pendengar cerita mereka. Sepertinya Tetum sekolah pertama yang mereka datangi, dengan penuh keberanian pastinya, karena anak mereka belum bisa bicara. Karena itu tidak seharusnya saya mematahkan hati mereka.
Saya mendengarkan kegelisahan mereka, namun saya tidak menjanjikan akan menerima Dinda. Dari semua cerita ibu dan ayah Dinda, saya menyampaikan empat hal.
Pertama, Dinda belum bisa diterima di SD karena dia belum pernah mengalami masa TK. Ya, TK adalah tempat pembentukan kesiapan belajar (tepatnya bermasyarakat). Di sana seorang anak belajar berteman, mengenal lingkungan baru, mengenal aturan, mengenal rutinitas, mengenal bina diri (toilet training, makan, dan lain-lain).
Saya perlu mengecek pada Kak Dian, apakah TK masih memungkinkan menerima seorang anak dengan kondisi yang perlu perhatian khusus.
Kedua, kalau Dinda dapat diterima di TK, maka paparan bahasa harus bahasa ibu. Dinda mengalami bingung bahasa tampaknya, karena di tahap perkembangan bahasa yang masih awal ini, dia terpapar dengan bunyi dan struktur bahasa asing. Ini terjadi karena abangnya senang menonton Youtube.
Ketiga, no screen. Ayah dan ibu Dinda bekerja, berangkat pagi dan pulang malam. Dinda di rumah bersama asisten rumah tangga, dan dari pantauan CCTV, ibu DInda kerap melihat Dinda tenang, main HP. Untuk menstimulasi kemampuan wicaranya, mestinya Dinda berinteraksi dengan manusia, bukan mesin.
Keempat, hadir sebagai orang tua. Hal ini saya ungkapkan karena ibu Dinda menyalahkan mbaknya yang memberikan gawai kepada Dinda. Saya mengatakan, tanggung jawab atas Dinda ada pada orang tuanya, bukan asisten rumah tangga. Jadi sekalipun mereka tidak di rumah, mereka tetap mengendalikan stimulasi untuk perkembangan Dinda, apalagi dengan kondisi Dinda yang perlu perhatian khusus.
Siang itu hati saya mendengarkan kegelisahan orang tua Dinda, namun saya tidak bisa membantu mereka, kalau mereka belum menyadari peran sebagai ayah dan ibu.